Kamis, 23 Juni 2016

Demam rematik ( acute rheumatic Fever)




Di seluruh dunia, RHEUMATIC FEVER merupakan penyebab yang paling sering penyakit jantung yang ‘didapat’ (aquired) pada anak-anak dan dewasa muda. Meskipun insidens RHEUMATIC FEVER telah menurun tajam di banyak negara maju, tetapi penyakit ini masih merupakan masalah besar di negara-negara yang sedang berkembang. Alasan kenapa ada fluktuasi insidens penyakit tersebut hanya sebagian diketahui. Meskipun telah diteliti dengan ekstensif, patogenese penyakit ini masih belum dapat didefinisikan dengan baik.

EPIDEMIOLOGI :

Insidens RHEUMATIC FEVER dan prevalensi RHD sangat bervariasi pada negara yang berbeda. Pada abad yang lalu, insidens RHEUMATIC FEVER di USA melebihi 100 per 100.000 populasi, berkisar antara 40-65 per 100.000 antara 1935 dan 1960, dan saat ini diperkirakan kurang dari2 per 100.000 populasi. Pada awal 1984, terjadi beberapa ‘outbreak’ akut RHEUMATIC FEVER di beberapa daerah tertentu di USA. Focal outbreak tersebut tidak dikaitkan denga peningkatan insidens RHEUMATIC FEVER secara nasional. Penurunan insidens di negara-negara industri berbeda tajam dengan insiden yang tetap tinggi pada negara-negara non-industri.

Pada banyak negara yang sedang berkembang, insidens RHEUMATIC FEVER akut mendekati atau melebihi 100 per 100.000 penduduk. Sesuai dengan turunnya insidens RHEUMATIC FEVER di negara-negara industri, maka prevalensi RHD juga menurun.

Penurunan insidens RHEUMATIC FEVER dan prevalensi RHD disebabkan banyak faktor. Meski penurunan tersebut didahului adanya pemakaian antimikrobial pada pengobatan faringitis streptokokus, beberapa laporan menyatakan bahwa pemakaian obat-obat tersebut mempercepat rate penurunan insidensi tersebut. Perbaikan standard ekonomi, perbaikan kondisi perumahan, berkurangnya kepadatan dalam rumah dan sekolah, mudahnya akses ke fasilitas kesehatan juga berperan, setidaknya sebagian pada penurunan insidensi RHEUMATIC FEVER. Observasi epidemiologis di USA dan UK menunjukkan perubahan periodik dalam muncul dan hilangnya ‘spesific M type’ pada lokasi geografik tertentu. Pergeseran tersebut juga merupakan penjelasan adanya penurunan dan kemunculan kembali RHEUMATIC FEVER dibeberapa bagian dunia.

Karena adanya ‘hubungan kausal’ antara RHEUMATIC FEVER dengan faringitis GAS, maka epidemiologis kedua penyakit tersebut sangat mirip. Serangan awal RHEUMATIC FEVER terjadi paling sering antara umur 6 – 15 tahun, dan RHEUMATIC FEVER sangat jarang dijumpai sebelum umur 5 tahun. Risiko terkena RHEUMATIC FEVER akan meningkat pada populasi yang mempunyai risiko tinggi faringitis streptokokus seperti military recruits, orang-orang yang hidup berdesakan(padat), dan mereka yang yang mempunyai kontak erat dengan anak-anak usia sekolah. Insidens RHEUMATIC FEVER sama pada laki-laki maupun perempuan. Insidens musim dari RHEUMATIC FEVER juga paralel dengan faringitis streptokokus. Puncak insidens RHEUMATIC FEVER di Eropa dan USA adalah pada musim semi (spring). Meski RHEUMATIC FEVER dianggap sebagai penyakit di daerah beriklim sedang (temperate = daerah yang tidak terdapat perbedaan suhu yang ekstrim), sekarang sering dijumpai didaerah tropis, khususnya di negara-negara sedang berkembang.


PATOGENESIS :
Bukti bahwa GAS merupakan agen penyebab serangan initial dan rekuransi RHEUMATIC FEVER sangat kuat tetapi ‘tidak langsung’. Hal didasarkan dengan observasi klinis, epidemiologis dan imunologis. Faktor-faktor yang menunjang patogenesis RHEUMATIC FEVER berhubungan baik dengan agen penyebab maupun faktor host.

The etiological “agent” :
Tonsilofaringitis GAS yang tidak diobati merupakan event pendahulu yang mencetuskan RHEUMATIC FEVER. RHEUMATIC FEVER tidak terjadi setelah infeksi streptokok kulit(impetigo).Pengobatan antibiotika yang baik terhadap faringitis streptokokus dengan eradikasi organisme akan meng-eliminasi risiko RHEUMATIC FEVER. Pada suatu keadaan yang kondusif untuk terjadinya epidemi faringitis stretokokus (seperti pada populasi militer, keadaan ber-desakan/padat), sekitar 3% dari radang tenggorok stretokokus akut yang tidak diobati akan diikuti oleh RHEUMATIC FEVER. Infeksi endemis akan menyebabkan ‘rate’ yang lebih rendah. Telah terdokumentasi dengan baik bahwa “sepertiga”(33%) dari semua kasus akut RHEUMATIC FEVER terjadi setelah faringitis yang ringan dan hampir-hampir tidak memberi gejala. Sedikitnya faringitis simtomatik merupakan gambaran yang mengesankan pada outbreak RHEUMATIC FEVER akut baru-baru ini, dimana sebagian besar pasien (58%) tidak mempunyai riwayat faringitis. Observasi ini merupakan peringatan bahwa, prevensi RHEUMATIC FEVER akut sangat bergantung pada identifikasi dan pengobatan yang tepat dan baik terhadap faringitis streptokokus.

Faktor utama yang dihubungkan dengan risiko RHEUMATIC FEVER adalah besarnya respons imun terhadap faringitis stretokokus sebelumnya dan persistensi organisme selama masa konvalesens. Variasi rheumatogenicity strain GAS merupakan faktor yang mempengaruhi ‘attack rate’ dari RHEUMATIC FEVER. Konsep yang menyatakan bahwa RHEUMATIC FEVER berkaitan dengan infeksi oleh strain virulen yang berkapsul(mukoid) berkemampuan meng-induksi respons imun spesifik yang kuat terhadap antigen M protein dan antigen streptokokus lainnya, diperkuat oleh observasi yang dibuat pada waktu outbreak RHEUMATIC FEVER akut pada pertengahan 1980-an. Streptokokus yang di-isolasi dari pasien RHEUMATIC FEVER dan anak-anak yang berkontak selama outbreak tersebut ternyata terutama strain dari type M 1,3,5,6 dan 18. M protein dari rheumatogenic streptococci menunjukkan karakteristik yang jelas: mereka berbagi dengan satu terminal domain antigenik yang panjang dan berisikan epitopes yang berbagi dengan jaringan jatung manusia, khususya protein membran sarkolema dan cardiac myosin.

“Host” :
Meskipun hanya sebagian kecil individu dengan faringitis streptokokus yang tidak di-obati yang menjadi RHEUMATIC FEVER (3%),tetapi insidens penyakit RHEUMATIC FEVER setelah faringitis streptokokus pada pasien yang mempunyai riwayat episode RHEUMATIC FEVER sebelumnya, lebih besar (sekitar 50%). Sejumlah penelitian epidemiologis juga meng-indikasikan adanya predisposisi familial terhadap penyakit ini. Observasi tersebut serta penelitian yang lebih baru menunjukkan adanya dasar genetik bagi kerentanan terhadap RHEUMATIC FEVER. Suatu specific B-cell alloantigen, di-identifikasi dengan antibodi monoklonal, telah dijumpai pada hampir semua pasien RHEUMATIC FEVER(99%) tetapi hanya dijumpai pada sebagian kecil (14%) dari kontrol. Lebih lanjut, kerentanan terhadap RHEUMATIC FEVER berkaitan dengan HLA-DR 1, 2, 3, dan 4 haplotypes pada berbagai group etnik.

PATOLOGI :

Fase akut RHEUMATIC FEVER ditandai dengan reaksi peradangan yang eksudatif dan proliferatif melibatkan jaringan ikat(connetive tissue) atau jaringan kolagen(collagen tissue). Meskipun proses tersebut bersifat ‘diffuse’, ia terutama mengenai jantung, sendi, otak dan jaringan kulit. Vaskulitis yang generalized mengenai pembuluh darah seringkali dijumpai, tetapi berbeda dengan vaskulitis jaringan ikat lain, TIDAK dijumpai adanya lesi trombotik pada RHEUMATIC FEVER.

Perubahan struktur yang utama pada kolagen adalah ‘degenerasi fibrinoid’. Connective tissue interstitial menjadi edematous dan eosinofilik, dengan fiber kolagen rapuh, terputus-putus, dan terdesintegrasi. Keadaan tersebut dikaitkan dengan infiltrasi sel mononuklear antara lain sel fibrohistiocytic besar dan termodifikasi (aschoff cells).. beberapa histiosit multinucleated dan membentuk ‘Aschoff giant cells’.

Nodule Aschoff pada stadium proliferatif dianggap patognomonik rheumatic carditis. Nodule-nodule tersebut telah hampir selalu dijumpai pada autopsi pasien-pasien yang meninggal akibat rheumatic carditis; tetapi, observasi baru-baru ini menunjukkan bahwa ‘aschoff nodules’ dijumpai hanya 30%- 40% biopsi pasien RHEUMATIC FEVER primer dan rekuren RHEUMATIC FEVER. Aschoof bodies dapat terlihat pada setiap daerah miokardium tetapi tidak pada organ lain yang terkena seperti sendi dan otak. Nodule tersebut sering dijumpai pada septum interventrikuler, dinding ventrikel kiri, atau appendage atrium kiri. Aschoff nodules bertahan sampai beberapa tahun setelah serangan RHEUMATIC FEVER, bahkan pada pasien yang tidak ada bukti-bukti adanya inflamasi aktif ataupun yang belum lama (recent).

Inflamasi jaringan katub merupakan manifestasi klinis yang lebih sering ditahui tentang adanya karditis rematik. Inflamasi initial berakibat insufisiensi katub. Hasil-hasil pemeriksaan histologis pada endokarditis terdiri dari edema dan infiltrasi sel pada jaringan katub dan chordae tendinae. Degenerasi hyaline mengenai katub menyebabkan terbentuknya ‘verrucae’ pada bagian tepinya, menghalangi penutupan katub yang sempurna. Fibrosis dan kalsifikasi katub akan terjadi bilamana inflamasi berlanjut. Lambat laun, proses tersebut berakibat stenosis katub.


DIAGNOSIS :

Tidak ada pemeriksaan klinis , laboratoris, atau pemeriksaan lain yang spesifik untuk mendiagnosa RHEUMATIC FEVER. Pada tahun 1944, T. Duckett Jones menyusun suatu kriteria untuk diagnosa RHEUMATIC FEVER; kriteria tersebut masih berharga untuk dipakai. Kriteria tersebut telah dimodifikasi, revisi, di-edit, dan di-update (dimutakhirkan) oleh Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, dan Kawasaki Disease of the Council on Cardiovascular Disease in the Young (American Heart Association). Panduan terbaru (Table 55-3) menekankan diagnosa “initial attacks” RHEUMATIC FEVER. Membagi hasil pemeriksaan klinis dan laboratoris menjadi manifestasi major dan minor didasarkan pada kepentingan diagnostik dari hasil pemeriksaan tertentu. Jika ditunjang oleh bukti-bukti adanya infeksi GAS sebelumnya, keberadaan “dua” major manifestasi atau “satu” major dan “dua” manifestasi minor meng-indikasikan “kemungkinan besar”(high probability) suatu RHEUMATIC FEVER akut.

Major Clinical Manifestations :
Carditis :
Rheumatic carditis adalah “pancarditis” yang mengenai endocardium, myocardium, dan pericardium dalam berbagai tingkat. Secara klinis, rheumatic carditis hampir selalu dikaitkan dengan ‘murmur’ akibat valvulitis.. Berat ringan karditis bervariasi. Pada bentuk berat, dapat terjadi kematian akibat gagal jantung. Lebih sering, karditis agak ringan, dan efek yang predominan adalah kerusakan katub jantung(scarring). Bukti keberadaan karditis dapat sangat samar; tanda-tanda keterlibatan katub dapat ringan dan sementara dan dapat dengan mudah terlewatkan pada waktu auskultasi. Baseline studies, seperti EKG dan echocardiografi, harus dilakukan pada pasien yang diduga RHEUMATIC FEVER. Pasien yang tidak terbukti adanya karditis pada pemeriksaan awal harus di-monitor ketat selama beberapa minggu guna mengetahui keterlibatan jantung.

Karditis seringkali dianggap sebagai manifestasi yang paling spesifik dari RHEUMATIC FEVER. Keadaan tersebut dijumpai pada minimal 50% pasien RHEUMATIC FEVER. Outbreak belum lama ini di USA menunjukkan bahwa frekwensi karditis agak lebih tinggi daripada yang dilaporkan selama ini dan mungkin juga sebagian dikarenakan saat ini telah banyak metode diag-nostik yang canggih. Pada salah satu laporan karditis terdiagnosa pada 72% kasus dengan auskultasi dan 91% dengan USG Doppler. Risiko overdiagnosa insufisiensi katub dengan echocardiografi harus diperhatikan benar, dan terlalu percaya pada alat tersebut dalam mendiagnosa karditis rematika harus dihindarkan.

Valvulitis(endocarditis), yang mengenai katub mitral dan aorta serta chorade katub mitral merupakan komponen yang khas dari karditis rematik. Mitral insufficiency merupakan tanda utama dari karditis rematika. Aorta insufficiency lebih jarang dan biasanya dikaitkan dengan mitral insufficiency. Katub pulmonal dan trikuspid sangat jarang terkena. Residual kerusakan katub merupakan hal yang penting pada pasien RHEUMATIC FEVER dan dapat menyebabkan gagal jantung sehingga membutuhkan terapi operatif.

Myocarditis atau pericarditis tanpa adanya valvulititis kemungkinan besar BUKAN disebabkan oleh RHEUMATIC FEVER. Takikardia merupakan tanda awal miokarditis tetapi juga dapat disebabkan oleh demam ataupun gagal jantung. Aritmia transient dapat terjadi pada pasien dengan miokarditis. Miokarditis berat atau insufisiensi katub dapat mengakibatkan gagal jantung. Pembesaran jantung(kardiomegali) terjadi bilamana terjadi gangguan hemodinamik berat yang diakibatkan oleh penyakit-penyakit katub, miokardial, atau perikardial. Terjadi inflamasi permukaan visceral dan parietal perikardium, mengakibatkan perikarditis dan akumulasi cairan perikardial.

Arthritis :
Polyarthritis merupakan major manifestation RHEUMATIC FEVER yang paling sering, tetapi paling tidak spesifik . Artritis hampir selalu asimetris, ber-pindah pindah, melibatkan sendi besar (lutut, ankle, siku, dan pergelangan tangan). Karakteristiknya terdapat pembengkakan, kemerahan ,panas, dan sangat nyeri, keterbatasan gerak, dan nyeri tekan. Artritis RHEUMATIC FEVER adalah jinak, tidak menyebabkan deformitas sendi. Cairan sendi menunjukkan karakteristik inflamasi( bukan infeksi). Pada kasus-kasus yang tidak di-obati, artritis biasanya berlangsung 2-3 minggu. Gambaran yang menyolok adalah bahwa artritis rematika memberi respons dramatis dengan pemberian salisilat. Sesungguhnya, jika pasien tidak segera membaik setelah 48 jam terhadap pemberia salisilat yang adekuat, maka diagnosa RHEUMATIC FEVER jadi meragukan.

Beberapa pasien dapat mengalami artritis dan manifestasi banyak sistem etelah faringitis streptokokus akut yang tidak memenuhi kriteria Jones untuk diagnosa RHEUMATIC FEVER akut. “Syndrome” demikian di sebut sebagai “Poststreptococcal reactive arthritis”(PSRA). Arthritis PSRA TIDAK memberi respons dramatis dengan obagt-obat anti inflamasi. Beberapa pasien PSRA dapat mengalami suatu “silent’ atau “delayed – onset” carditis; Maka, pasien seperti ini harus diobeservasi dengan teliti beberapa bulan untuk menge-tahui terjadinya carditis.

Chorea :
Sydenham’s chorea, St. Vitus’ dance, atau chorea minor terjadi sekitar 20% pasien RHEUMATIC FEVER. Proses inflamasi rheumatic pada CNS khususnya mengenai “ganglia basalis” dan “nuclei caudatus”. Chorea adalah ‘delayed ‘manifestation dari RHEUMATIC FEVER, biasanya muncul ≥ 3 bulan setelah onset infeksi streptokokus sebagai pencetus. Keadaan ini sangat berbeda dengan ‘periode latent’ dari carditis atau arthritis, yang mana biasanya terjadi 3 minggu. Oleh karena itu kadang-kadang chorea hanya merupakan satu-satunya manifestasi RHEUMATIC FEVER yang dijumpai. Lebih lanjut bukti adanya infeksi GAS yang belum lama mungkin sukar untuk diketahui dan kadang anamnesa, klinis, atau hasil laboratoris untuk memenuhi kriteria Jones sukar diperoleh. Diagnosa RHEUMATIC FEVER dapat dibuat pada pasien dengan “chorea” tanpa perlu kesesuaian dengan kriteria Jones.

Sydenham’s chorea secara klinis khas dengan adanya gerakan-geraka yang tak terkontrol dan tak bertujuan, inkoordinasi otot dan kelemahan otoa serta labilitas emosi. Manifestasi menjadi lebih nyata bilamana pasien dibangunkan dan dalam keadaan stress dan menghilang pada waktu tidur. Semua otot dapat terkena tetapi yang terutama adalah otot-otot muka dan ekstremitas. Dapat terjadi gangguan bicara, yang eksplasive dan ter-putus putus. Tulisan menjadi jelek, dan pasien menjadi tidak terkoordinasi serta mudah frustrasi. Gejala Sydenham’s chorea harus dibedakan dengan “tics”, “athetosis”, “reaksi konversi”, “hiperkinesis”, dan “”behaviour problems”. Gejala biasanya menghilang setelah 1-2 minggu , bahkan tanpa terapi apa-apa.

Erythema marginatum :
Rash yang nyata merupakan manifestasi RHEUMATIC FEVER yang jarang dijumpai, terjadi sekitar 5% penderita. Kelainan ini berupa rash yang cepat hilang(evanescent),eritematous, makular, dan nonpruritic dengan bagian tengah(center) yang pucat dan tepi bulat atau ber-lingkar-lingkar (serpiginous). Lesi beukuran sangat bervariasi dan terdapat terutama pada tubuh dan ektremitas proksimal, TIDAK pada muka, rash dapat di-induksi dengan aplikasi panas.

Nodule subkutan :
Nodule ini kenyal(firm), dapat degerakkan berukuran 0,5 – 2 cm. Nodule tersebut jarang dijumpai (hanya sekitar 3%); bila ada, nodule paling sering dijumpai pada pasien RHEUMATIC FEVER dengan karditis. Nodule tersebut biasanya dijumpai pada permukaan ekstensor persendian (khususnya siku, lutut, dan pergelangan tangan), didaerak kulit kepala oksipital, atau pada prosesus spinosa. Kulit diatas nodule dapat digerakkan, tidak ada perubahan warna, dan tidak meradang.

Minor manifestations:
Pemeriksaan klinis :
Demam dan artralgia merupakan hasil pemeriksaan yang TIDAK spesifik, merupakan hasil pemeriksaan yang umum dijumpai pada pasien RHEUMATIC FEVER. Nilai diagnostiknya terbatas karena mereka umumnya dijumpai pada penyakit-penyakit lain. Demam dan artralgia digunakan untuk menunjang diagnosa RHEUMATIC FEVER hanya bilamana hanya dijumpai “satu” major manifestation. Demam hanya dijumpai selama stadium akut dan tidak mempunyai pola khas. Arthralgia adalah “rasa nyeri” yang dijumpai pada satu atau lebih sendi besar tanpa ada tanda objektif pada pemeriksaan fisik dan tidak dianggap sebagai manifestasi minor bilamana ada “arthritis”. Epistaxis dan abdominal pain juga dapat dijumpai tetapi TIDAK termasuk kriteria diagnostik minor RHEUMATIC FEVER.

Pemeriksaan Laboratorium:
Peningkatan “acute phase reactants” merupakan hasil objektif tetapi ‘nonspesifik’ bagi suatu inflamasi jaringan. LED dan kadar C-reactive protein (CRP) selalu meningkat selama fase akut penyakit RHEUMATIC FEVER dengan karditis ataupun dengan poliartritis, tetapi biasanya NORMAL pada pasien dengan dhorea. Pemeriksaan LED sangat berguna dalam mengikuti perjalanan penyakit; LED biasanya kembali ke normal bilamana aktivitas rematik me-reda. Led dapat juga meningkat pada pasien anemia dan dapat berubah menjadi normal pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Tidak seperti LED, CRP tidak dipengaruhi oleh anemia ataupun gagal jantung.

Hasil yang sering didapat lain pada RHEUMATIC FEVER akut adalah Pemanjangan P-R interval pada EKG yang tidak sesuia dengan umur dan HR. Hasil ini saja BUKAN merupakan diagnostik untuk karditis dan TIDAK berhubungan dengan perkembangan penyakit jantung rematik kronis. Hasil pemeriksaan EKG lain seperti takikardia, AV-blok, dan perubahan QRS-T menunjukkan dugaan adanya miokarditis; Hasil-hasil pemeriksaan tersebut tidak termasuk ‘minor manigfestation”.

Leukositosis dapat dijumpai pada stadium akut RHEUMATIC FEVER, tetapi jumlah leukosit bervariasi tapi tidak tergantung padanya (variable but not dependable). Anemia biasanya ringan atau moderat dan mo RHEUMATIC FEVERologis normocytic normochromic (anemia inflamsi kronis). Rontgen foto thorax juga berguna untuk mengetahui ukuran jantung; tetapi ronsen foto toraks yang normal tidak menyingkirkan adanya karditis. Perikarditis, edema pulmonal, peningkatan vaskularita pulmonal juga terdeteksi pada pemeriksaan ini. Echocardiografi dapat membantu mendeteksi keterlibatan endokardial, miokardial dan perikardial.

Infeksi GAS (Group A Streptokokus) sebelumnya (riwayat) :

Ada sejumlah penyakit yang mirip RHEUMATIC FEVER akut, dan TIDAK ada test laboratorium ataupun test lain yang memungkinkan diagnosa RHEUMATIC FEVER yang spesifik. Makanya penting sekali untuk mengetahui adanya infeksi streptokokus sebelumnya dalam bentuk adanya infeksi GAS pada tonsilofarings ataupun peningkatan titer antibosi terhadap streptokokus. Bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya dibuthkan untuk konfirmasi diagnosa awal akut RHEUMATIC FEVER.

Pada saat mendiagnosa RHEUMATIC FEVER akut, hanya 11% pasien mempunyai kultur tenggorok yang positif GAS. Sejumlah kecil kultur positif sebagian disebabkan eliminasi organisme oleh mekanisme pertahanan tubuh pasien(host) selama periode latent antara onset infeksi dan terjadinya RHEUMATIC FEVER kemudian. Beberapa “rapid GAS antigen detection tests” sekarang tersedia komersiel. Test tersebut metodologinya bervariasi. Sebagaian besar dari test tersebut mempunyai ‘spesifisitas yang tinggi’ tetapi ‘sensitifitas nya rendah’ . Test yang negatif TIDAK menyingkirkan adanya infeksi GAS di farings. Test kultur tenggorok yang positif ataupun rapid antigen test yang positif tidak dapat membedakan antara infeks yang baru)recent) yang dapat dikaitkan dengan RHEUMATIC FEVER akut dan carier organisme kronik.

Karena adanya GAS di farings tidak menggambarkan adanya infeksi aktif, maka peningkatan titer antibodi antistreptokokus memberi bukti yang lebih terpercaya akan adanya infeksi streptokokus yang baru (recent) daripada test kultur yang positif ataupu test rapid antigen yang positif. Test antibodi yang umumnya dipakai adalah “antistreptolysin O (ASO)” dan “antideoxyribonuclease B”(anti-DNase B). Titer dari kedua test tersebut dapat bertahan beberapa minggu atau beberapa bulan. Titer ASO (ASTO) biasnya diperoleh lebih dulu, dan bilamana tidak meningkat, maka ‘anti-DNase B test dilakukan. Titer ASO meningkat dan menurun lebih cepat daripada anti-DNase B. “Slide agglutination test” tersedia komersiel dan mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus. Pemeriksaan tersebut mudah untuk dilakukan, cepat, dan tersedia luas; tetapi, test tersebut belum terstandarisasi dengan baik dan TIDAK reprodusible dan TIDAK direkomendasikan sebagai “definitive test” untuk membuktikan adanya infeksi GAS sebelumnya.


TERAPI :
UMUM :
Bila memungkinkan pasien dirawat di rumah sakit guna observasi dan management yang memadai. Bed rest dianggap sebagai bagian yang penting karena akan mengurangi rasa nyeri sendi. Lama bed rest ber-variasi dan individual. Rawat jalan dapat dilaksanakan bila demam menghilang dan ‘acute phase reactant’ sudah kembali ke normal. Pasien harus di-izinkan untuk menjalani kehidupan aktif dengan aktivitas fisik yang normal. Hindari aktivitas fisik yang berlebihan, khususnya bilamana ada carditis. Meski kultur hapusan tenggorok untuk GAS (Group A streptococcus) jarang positif pada saat onset demam rematik, pasien harus mendapat terapi penisilin selama 10 hari(10 days course). Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka dapat di-terapi dengan erythromycin.

Bila terdapat gagal jantung, pasien harus mendapat diuretika, oksigen, dan digitalis dan dengan diet rendah garam. Preparat digitalis harus dipakai dengan hati-hati karena cardiac toxic dapat terjadi dengan dosis biasa.



TERAPI ANTIREUMATIK :
Tidak ada terapi yang spesifik bagi reaksi inflamasi yang dicetuskan oleh demam rematik. Terapi suportif ditujukan untuk ‘mengurangi gejala, mengontrol manifestasi toksik, dan memperbaiki fungsi jantung’.

Pasien dengan tidak ada karditis atau karditis ringan biasanya memberi respon baik dengan salisilat. Salisilat khususnya efektif dalam meredakan nyeri sendi; nyeri tersebut biasanya menghilang dalam 24 jam sejak pemberian salisilat. Sesungguhnya jika nyeri tetap ada setelah pemberian salisilat, maka diagnosa ‘demam rematik’ perlu diper-tanyakan, dan pasien tersebut perlu dievaluasi ulang. Karena tidak ada test yang spesifik bagi demam rematik, maka terapi anti inflamasi harus ditunda sampai gambaran klinis cukup jelas bagi diagnosa. Pemberian anti inflamasi terlalu dini dapat menekan manifestasi klinis dan menghalangi diagnosa yang tepat. Demi optimalnya efek anti-inflamasi, kadar serum salisilat yang dibutuhkan, sekitar 20 mg. Aspirin dengan dosis 100 mg/Kg/hari(Note kalau BB 50 kg = ….), diberikan dalam 4 sampai 5 kali sehari, biasanya akan memberi hasil kadar serum yang adekuat untuk mencapai respons klinis. Terapi salisilat yang optimal harus bersifat individual, guna mendapatkan respons yang adekuat serta menghindari toksisitas. Toksisitas salisilat yang sering terjadi berhubungan dengan dosis antara lain, tinnitus(telinga berdenging), mual, muntah dan anoreksia. Side efek akan menghilang setelah beberapa hari setelah terapi meski terapi tetap dilanjutkan.

Pasien-pasien dengan keterlibatan jantung – khususnya mereka dengan perikarditis atau gagal jantung kongestif – akan memberi respon lebih cepat terhadap kortikosteroid daripada dengan salisilat. Sesungguhnya, steroid lebih bersifat ‘life saving’ pada pasien yang sangat berat. Kadang-kadang, pasien yang tidak memberi respons pada dosis salisilat yang sudah adekuat dapat mendapat manfaat dengan pemberian coba-coba (trial course) corticosteroid. Dosis Prednison yang umum dipakai adalah , 1- 2mg/Kg/ hari.

Tidak ada bukti bahwa terapi salisilat ataupun kortikosteroid dapat mempengaruhi perjalanan penyakit dari karditis atau mengurangi insiden residual heart disease. Maka, lama terapi daengan anti-inflamasi hanya berdasarkan semata-mata perkiraan berat episode dan kecepatan dari respons klinis.

Serangan ringan dengan minimal atau tidak ada keterlibatan jantung dapat di-terapi dengan salisilat sekitar 1 bulan atau sampai ada bukti klinis atau laboratoris yang cukup menyatakan yang sudah tidak ada inflamasi lagi. Pada kasus yang lebih berat, terapi kortiksteroid dapat dilanjutkan sampai 2-3 bulan. Obat tersebut kemudian secara pelahan dikurangi dalam 2 minggu berikutnya. Meskipun dengan terapi yang berkepanjangan, beberapa pasien(sekitar 5%) akan tetap menunjukkan bukti aktivitas rematik selama 6 bulan atau lebih. Suatu fase “rebound” ditandai dengan munculnya kembali gejala ‘ringan’ atau ‘acute phase reactants’ dapat terjadi pada pasien setelah terapi anti-inflamasi dihentikan, biasanya dalam 2 minggu. Gejala yang sangat ringan biasanya akan menghilang tanpa terapi; gejala yang lebih berat membutuhkan terapi dengan salisilat. Beberapa dokter menganjurkan pemakaian salisilat (aspirin, 75 mg/kg/hari) selama periode dimana ‘kortikosteroid sedang di- tapering off’ dan meyakini bahwa pendekatan tersebut dapat mengurangi kemungkinan ‘rebound’.

Informasi mengenai pemakaian salisilat selain aspirin masih sangat sedikit(limited). Tidak ada bukti bahwa obat NSAIDs lebih efektif daripada aspirin. Pada pasien yang tidak dapat men-tolerir atau mereka yang alergi terhadap aspirin, trial penggunaan NSAIDs dapat dibenarkan. Preparat aspirin yang ‘coated’ atau mengandung’ buffer’ atau ‘alkali’, dapat juga dicobakan; terdapat sedikit bukti bahwa beberapa preparat tersebut dapat ditolerir lebih baik dan beberapa mempunyai side efek yang tidak diingini.

PENCEGAHAN :

Pencegahan Primer
Pencegahan primer demam rematik tergantung pada pengenalan dini dan pengobatan yang tepat dari GAS(Group A Streptococcus) tosilfaringitis. Eradikasi GAS dari teggorokan sangat penting. Meskipun terapi antimikrobial yang memadai dimulai sampai 9 hari setelah onset dari pharyngitis streptoccocus akut masih efektif dalam mencegah serangan primer demam rematik, dianjurkan terapi yang lebih dini karena akan menurunkan baik morbiditas maupun periode infeksi. Dalam memilih regimen terap faringitis GAS, berbagai faktor harus dipertimbangkan, antara lain efektifitas bakteriologis dan efektifitas klinis; kemudahan pemberian regimen (a.l. frekuensi pemberian per hari , palatibility/mudah dikunyah); biaya; spektrum dari obat yang dipilih; dan potensi side efek.

Penisilin merupakan antimikrobial yang terpilih (agent of choice) pada terapi GAS, kecuali bagi pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin. Penisilin mempunyai spektrum sempit, dan efektifitasnya sudah terbukti sejak lama , dan tidak mahal. GAS yang resisten terhadap penisilin belum tercatat. Penisilin dapat diberikan intramuskuler ataupun oral , tergantung pada kepatuhan pasien terhadap regimen oral.

Lebih disukai ‘benzatin penisilin G’ intramuskuler, khususnya pada pasien yang tidak memungkinkan me-lengkapi terapi -10 hari oral terapi dan pada pasien-pasien dengan seorang atau keluarga dengan riwayat RHEUMATIC FEVER atau RHD. Injeksi benzathin penicillin G harus diberikan dalam dosis tunggal pada otot yang tebal. Formulasi tersebut membuat rasa nyeri; injeksi yang berisikan ‘procaine penicilline’ dibanding dengan ‘benzathine penicillin G kurang memberi rasa nyeri . Rasa kurang nyaman dapat dikurangi dengan menghangatkan obat tersebut pada temperatur kamar sebelum di suntikkan.

Pilihan utama obat antibiotika oral (antibiotic of choice) adalah “penicillin V”(Phenoxymethyl Penicillin). Pasien harus memakai oral penisilin secara teratur dalam 10 hari penuh, meskipun sudah asimtomatik dalam beberapa hari eprtama. Meskipun antibiotika dengan spektrum lebih luas, amoksisilin sering digunakan untuk pengobatan ‘faringitis GAS’, obat tersebut secara mikrobilogis tidak lebih superior daripada penisilin.

Eritromisin oral dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Terapi harus dilaksanakan 10 hari. Erythromycine estolate (20 – 40 mg/kg/hari dalam 2 – 4 dosis terbagi), atau erythromycin ethyl succinate (40 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis terbagi) sering efektif dalam mengobati faringitis streptokokus; tetapi, efektivitas dosis 2x sehari pada orang dewasa masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Dosis maksimal eritromisin adalah 1 gram perhari. Meskipun strain GAS yang resisten terhadap eritromisin , prevalen dibeberapa area didunia sehingga mengakibatkan kegagalan pengobatan, kasus resistensi tersebut jarang disebagian besar dari Amerika serikat.

Makrolide jenis baru, azithromycin mempunyai pola kepekaan terhadap GAS yang sama dengan eritromisin tetapi lebih sedikit menyebabkan side effeck gastrointestinal. Azithromycin dapat diberikan sekali sehari dan mengakibatkan konsentrasi yang tinggi pada tonsil. Pemberian azitromisin 5 hari (5 days course) di-approve oleg FDA dan sebagai terapikedua(second line) bagi pasien GAS faringitis yang berumur ≥ 16 tahun. Dosis yang dianjurkan adalah 500 mg dosis tunggal pada hari pertama diikuti dengan 250 mg sekali sehari untuk 4 hari berikutnya.

Pemberian Cephalosporin selama 10 hari(10 days course) dapat diterima sebagai alternatif, khususnya pada pasien alergi penisilin. Cephalosporin dengan spektrum yang lebih sempit, seperti cefadroxil atau cephalexin, mungkin lebih disukai daripada cephalosporin dengan spektrum lebih luas seperti cefaclor, cefuroxime,cefixime, dan cefpodoxime. Beberapa individu alergi penisilin (< 15%) juga alergi terhadap cephalosporins, dan obat-obat tersebut jangan diberikan pada pasien dengan “immediate (anaphylactic type) hypersensitivity” terhadap penisilin.

Beberapa laporan menunujukkan bahwa terapi -10 hari dengan cefalosporin oral lebih superior dari pada terapi 10 hari dengan oral penisilin dalam meng-eradikasi GAS dari farings. Laporan baru-baru ini menyatakan bahwa terapi 5 hari (5 days course) dengan cefalosporin oral terpilih sebanding dengan terapi 10 hari oral penisilin dalam meng-eradikasi GAS dari farings. Regimen tersebut saat ini BELUM di-approve oleh FDA, dan masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut guna memperluas dan menegaskan observasi tersebut.

Antimikrobial tertentu TIDAK di-rekomendasi dalam terapi infeksi streptokosus saluran nafas atas. Tetracycline JANGAN dipakai karena tinngginya prevalensi strain yang resisten. Sulfonamides dan trimethoprim-sulfmethoxazole TIDAK meng-eradikasi GAS pada pasien faringitis dan JANGAN dipakai mengobati infeksi aktif. Chloramphenicol TIDAK direlkomendasi karena efektifitasnya unpredictable dan mempunyai potensi toksik.

Pencegahan sekunder (Note: yang dimaksud pencegahan sekunder =?):
Pasien-pasien dengan serangan RHEUMATIC FEVER sebelumnya yang mengalami infeksi pharingitis streptokokus, mempunyai risiko tinggi untuk mengalami serangan ulang RHEUMATIC FEVER. Infeksi GAS tidak mesti simtomatik untuk mencetuskan rekuransi(serangan ulang). Lebih lanjut, rekurens RHEUMATIC FEVER dapat terjadi bahkan infeksi simtomatik telah diobati dengan optimal(!). Karena alasan tersebut, pencegahan rekurensi RHEUMATIC FEVER lebih membutuhkan profilaksis antimikrobial daripada pengenalan(diagnosa) dan pengobatan episode akut faringitis streptokokus. Profilaksis yang terus menerus di-rekomendasikan bagi pasien-pasien dengan riwayat RHEUMATIC FEVER (termasuk kasus yang hanya terdapat Sydenham’s chorea saja) dan pada mereka dengan bukti nyata adanya RHD. Profilaksis tersebut harus segera dimulai bilamana terdiagnosa akut RHEUMATIC FEVER ataupun RHD. Terapi penisilin dengan penuh harus diberikan pertama kali pada pasien dengan akut RHEUMATIC FEVER untuk meng-eradikasi sisa GAS bahkan walau kultur tenggorokan negatif pada waktu itu. Infeksi streptokokus yang terjadi pada anggota keluarga lain dari pasien Reumatic harus segera di-obati.

CONTINUOUS ANTIMIKROBIAL PROPHYLAXIS:
Continuous antimicrobial prophylaxis memberi proteksi yang paling efektif rehadap rekurensi RHEUMATIC FEVER. Risiko terjadinya rekurensi tergantung pada banyak faktor. Rsiko rekurensi akan meningkat dengan terdapatnya serangan ulan sebelumnya, sedangkan risiko akan menurun bilaman interval sejak serangan sebelumnya makin panjang. Kemungkinan menderita infeksi streptokokus saluran nafas atas merupakan suatu pertimbangan yang penting. Pasien-pasien dengan eksposure terhadap infeksi streptokokus seperti anak-anak dan dewasa muda, orang tua dari anak anak kecil, guru, dokter, perawat, dan personel kesehatan yang berkontak dengan anak-anak, rekrutmen militer, dan lain-lain seperti tinggal dirumah yang berjejalan. Juga dijumpai risiko yang tinggi pada populasi dengan ekonomi rendah.

Dokter harus memperhitungkan situasi individual dalam memnentukan lama melaksanakan profilaksis yang memadai. Pasien-pasien dengan karditis rematika mempunyai risiko yang relatif tinggi untuk mengalami rekurensi karditis dan kemungkinan besar untuk mengalami keterlibatan jantung yang berat pada setiap rekurens Maka, pasien-pasien yang menderita karditis rematika HARUS mendapat ‘profilaksis antibiotika jangka panjang’, mungkin seumur hidupnya. Lama dari profilaksis tergantung apakah ada atau tidaknya ‘residual valvular disease’. Profilaksis harus dilanjutkan bahkan setelah dilakukan ‘terapi operatif katub, termasuk juga setelah penggantian katub prostetik. Pasien-pasien yang menderita RHEUMATIC FEVER tanpa karditis diperkirakan mempunyai risiko yang lebih kecil untuk mengalami keterlibatan jantung sewaktu rekurensi. Maka, profilaksis dapat dihentikan pada individu tersebutsetelah beberapa tahun. Umumnya, profilaksis harus dilanjutkan sampai 5 tahun sejak serangan RHEUMATIC FEVER terakhir atau setelah berumur 21 tahun, yang mana lebih dulu dicapai. Keputusan untuk menghentikan profilaksis atau memulai kembali harus di-diskusikan dengan pasien tentan potensi risiko dan manfaatnya dan pertimbangan risiko epidemiologis yang disebut diatas.

Injeksi 1.200.000 unit preparat long acting penicillin setiap 4 minggu adalah regimen yang di-rekomendasi untuk prevensi sekunder pada banyak kasus di Amerika Serikat. Di negara-negara dimana insidens RHEUMATIC FEVER tinggi, dalam keadaan khusus, dianjurkan pemberian ‘benzathine penicillin G’ setiap 3 minggu . Long acting penicillin khususnya sangat bernilai pada pasien-pasien yang berisiko ringgi terjadi rekurensi RHEUMATIC FEVER. Manfaat pemberian benzathine penicillin G melebihi rasa tidak menyenangkan dan nyeri pada pasien yang sering berakibat penghentian injeksi profilaksis tersebut pada beberapa pasien.

Kesuksesan profilaksis oral terutama tergantung pada kepatuhan pasien terhadap regimen yang di resepkan. Pasien butuh instruksi yang teliti dan ber-ulang ulang tentang pentingnya terapi profilaksis yang berkesinambungan tersebut. Sebagian besar dari kegagalan profilaksis diakibatkan oleh ketidak patuhan pasien. Bahkan walaupun tingkat kepatuhan pasien yang optimal risko rekurensi tetap tinggi pada pasien yang memakai profilaksis oral dibandingkan dengan mereka yang mendapat injeksi benzathine penicillin G. Obat-obat oral lebih cocok pada pasien yang mempunyai risiko rendah rekuransi RHEUMATIC FEVER. Sesuai dengan itu, maka beberapa dokter men-switch ke oral profilaksi ketika pasien telah mencapai usia dewasa muda dan mereka yang tidak terkena serangan rekurensi sejak 5 tahun terakhir.

Penicllin V merupakan obat yang lebih disukai. Belum ada data tentang penggunaan penicillin jenis lain, makrolide, ataupun cephalosporin untuk prevensi sekunder RHEUMATIC FEVER. Meskipun sulfonamide tidak efektif untuk eradikasi GAS, obat tersebut dapat mencegah infeksi. Sulfadiazine dan sulfisoxazole tampaknya ekuivalen; Pemakaian sulfixazole dapat diterima berdasarkan kesimpulan dari data bahwa sulfadiazine telah terbukti efektif dalam prevensi sekunder. Dosis yang direkomendasi dari sulfisoxazole sama dengan sulfadiazine. Sulfonamide profilaksis merupakan kontraindikasi pada kehamilan lanjut karena ia dapat melintasi plasenta dan mempunyai potensi kompetisi dengan bilirubin terhadap ‘albumin-binding sites’.Eritromisin di-rekomendasikan bagi pasien-pasien yang alergi terhadap penisilin dan sulfixazole.

Profilaksis terhadap Endokarditis bakterial :
Pasien-pasien dengan ‘rheumatic valvular heart disease’(penyakit jantung katub akibat rematik) juga memerlukan terapi tambahan suatu profilaksis ‘antibiotika jangka pendek’ sebelum dilaksanakannya operasi dan prosedur-prosedur gigi guna mencegah terjadinya ‘endokarditis bakterial’. Pasien-pasien khususnya dengan katub prostetik atau riwayat endokarditis sebelumnya merupakan pasien dengan risiko tinggi untuk endokaritis bakterial. Regimen antibiotika yang dipakai dalam pencegahan rekurensi RHEUMATIC FEVER akut, TIDAK ADEKWAT untuk pencegahan endokarditis bakterial. Ekomendasi AHA (American Heart Association)untuk pencegahan endokarditis bakterial saat ini harus diikuti. Karena alpha-hemolytic stretococci pada oropharynx dapat menjadi resisten terhadap penisilin oral yang sedang dipakai untuk pencegahan sekunder RHEUMATIC FEVER, maka obat yang dipilih untuk pencegahan endokarditis haruslah BUKAN penicilin. Pasien yang pernah menderita tetapi tidak terbukti mempunyai ‘rheumatic heart disease’ TIDAK memerlukan profilaksis terhadap endokarditis.


TABEL 55-3 : PANDUAN DIAGNOSIS UNTUK SERANGAN PERTAMA
RHEUMATIC FEVER( KRITERIA JONES, UPDATED 1992)

MANIFESTASI MAJOR MANIFESTASI MINOR

Carditis Klinis:
Polyarthritis Artralgia
Chorea Demam
Erytema marginatum Hasil Pemeriksaan Laboratorium:
Subcutaneous nodules Peningkatan ‘acute phase reactants:
LED
C-reactive protein (Crp)
Pemanjangan Interval P-R



Bukti Penunjang adanya Infeksi Streptokokus Grup A sebelumnya :
Kultur hapusan tenggorok positip atau rapid antigen test yang positip
Peningkatan Titer antibodi streptokokus.

Dari: Dajani A.S., Ayoub, E. M., Bierman, F.Z., et al.:
Guidelines for the diagnosis of rheumatic fever: Jones Criteria,
Updated 1992. JAMA 268: 2069, 1992. Copyright 1992 American Medical Association.


TABEL 55-4 PENCEGAHAN RHEUMATIC FEVER:

AGENT DOSE MODE DURATION

PENCEGAHAN PRIMER :

Benzathine Pen G 600.000 unit bagi IM sekali
Pasien ≤ 27 kg
1.200.000 unit bagi
Pasien > 27 kg
ATAU
Penicillin V Anak2: PO 10 hari
250 mg 2-3 kali/hari
Remaja dan dewasa:
500 mg 2-3 kali/hari
Bagi pasien yang alergi terhadap Penicllin:

Erythromycin 40 mg/kg/hari PO 10 hari
2-4 kali/hari
(maksimum 1 gr/hari)

PENCEGAHAN SEKUNDER:
Benzathine Pen G 1.200.000 unit setiap IM Lht tabl 5
4 minggu
ATAU:
Penicillin V 250 mg 2 kali sehari PO Lht tabl 5
ATAU
Sulfadiazine 0,5 gr sekali sehari bagi PO lht tabl 5
Pasien ≤ 27 kg (60 lb)
1 gr sekali sehari bagi
Pasien > 27 kg (60 lb)
Bagi pasien alergi terhadap penicilin atau Sulfadiazine:
Erythromycin 250 mg duakali sehari PO Lht tabl 5.





TABEL 55-5 LAMA PENCEGAHAN SEKUNDER PADA PASIEN RHEUMATIC FEVER :



KATEGORI LAMA PENGOBATAN

Rheumatic fever dgn carditis dan Minimal 10 tahun setelah episode terakhir dan
residual penyakit valvular minimal sampai umur 40.
Kadang-kadang pencegahan seumur hidup.

Rheumatic fever dgn carditis tetapi 10 tahun atau sampai masuk usia dewasa, yang
TIDAK ada residual penyakit valvular mana lebih lama .

Rheumatic fever tanpa carditis 5 tahun atau sampai umur 21 tahun, yang mana lebih lama.
(Dr.Agoes)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar